Mobil yang kami tumpangi
melaju di jalanan beraspal di utara Sumba Timur. Beberapa ekor babi melintas membuat laju
mobil melambat. Baru bernafas lega dan mulai cepat melaju, deru mobil kembali jalan, kali ini segerombolan kuda melintas sembari berlari. Mobil kembali melaju, Padang Rumput Savana yang berada di kanan kiri jalan bergerak
bergelombang tertiup angin seperti karpet mahal yang dijual di pusat
perbelanjaan. Menakjubkan. Belum lagi gerombolan kuda dan sapi yang merumput di
padang rumput luas membuat suasana sore itu semakin menakjubkan.
Mobil berbelok ke kanan.
Kali ini, kami disuguhi kebun berpagar kayu hidup yang berjajar rapi. Jalanan
yang mulai berbatu dan berkelok tak menyurutkan langkah kami menuju sebuah desa
bagian dari Kecamatan Haharu, Sumba Timur.Desa Kalamba.
Tujuan kami berbelok
memang menuju ke Desa Kalamba, namun tidak sampai di desanya karena waktu yang
tidak memungkinkan untuk kami singgah. Tujuan kami sesungguhnya adalah melihat
bukit berundak-undak khas Sumba lalu berswa foto alias selfie. Sore itu masih
bulan April, masa transisi musim hujan ke musim kemarau. Rumput masih hijau,
namun tak sepenuhnya hijau. Beberapa padang rumput mulai terlihat cokelat.
Terlihat eksotis.
Pikiran saya menyelinap
pada obrolan siang tadi mengenai Desa Kalamba.
“Desa Kalamba merupakan
salah satu desa di Kecamatan Haharu. Hanya ada 80 KK di sini,” ucap kak Ocha pemandu
kami, yang juga mendatangkan kami ke Sumba.
Saya mengangguk.
“Desa ini penghasil kacang
tanah. Jadi kalau saya berkunjung untuk menengok sekolah. Saya bawa kacang bisa
berkarung-karung melebihi orang yang punya kebun,” ucap pengawas sekolah.
“Angka kelahiran di sini
rendah sekali. Setahun hanya ada satu hingga dua kelahiran. Kelas satu tahu
ajaran besok, hanya ada satu anak yang akan masuk ke SD. Total peserta didik di
SD Kalamba hanya 38 anak. Tapi kami tidak akan menyerah. Tetap mengajar sepenuh
jiwa,” ucap bu Ahat, guru di SD Kalamba.
Setengah jam melewati
jalan berbatu dengan beberapa tanjakan, akhirnya kami sampai. Mobil pun berhenti.
Angin berhembus ringan saat kami turun dari mobil. Matahari senja yang masih
bersinar dari arah barat mulai tertutup awan. Kami berjalan ke arah pinggir dengan batas jurang. Saya
terperangah. Kekaguman yang dari awal perjalanan membuncah, rasanya semakin
membuncah. Indah. Benar-benar indah. Mata saya tertuju pada keindahan di bawah
jurang.
Bukit berlapis-lapis
terlihat berdiri kokoh. Jalanan berkelok di pinggir bukit terlihat mempesona.
Dan Desa Kalamba terlihat begitu epik di tengah-tengah bukit. Pohon yang
berwarna hijau dominan berdiri sejajar di tengah padang rumput yang menghijau
kecokelatan.
Angin berhembus perlahan.
Sesekali berhembus kencang. Tumbuhan semak bergoyang. Desisnya memecah
keheningan. Keheningan syahdu di sore tentang sebuah perjalanan.
Saya memandang Kalamba
sore itu, dan belajar tentang banyak hal. Tentang tujuan-tujuan kehidupan.
Tentang proses dan capaian-capaian. Terkait sudut pandang yang berbeda dari
masing-masing insan tentang kehidupan.
“Yuuk kita pulang! Sudah
mau malam,” ucap seorang kawan.
Angin masih berhembus.
Kami masuk ke dalam mobil. Membelah jalanan lengang utara Sumba. Padang rumput
terlihat mulai menghitam. Malam pun singgah.