Kuliner di Sumatera Barat
biasanya identik dengan makanan dari hewani yang dimasak dengan santan dan
berbumbu kuat. Sayuran yang tersedia di
rumah makan padang biasanya daun singkong, sayur nangka dan kacang panjang bersantan,
terung balado dan mentimun. Selain itu, jarang ada sayuran lainnya yang
tersedia.
Saat berkesempatan singgah
ke Bukittinggi, saya diajak keliling oleh Pak Anto (pemilik Sekolah Alam
Bukittinggi). Saya berkeliling termasuk ke pasar tradisionalnya. Walau hanya
lewat saja, rupanya Bukittinggi yang terkenal juga dengan nasi kapaunya
memiliki sayuran yang beraneka rupa. Itu tandanya Bukittinggi dan daerah
Sumatera Barat tidak miskin sayuran. Apalagi Bukittinggi dan sekitarnya
merupakan daerah berhawa sejuk, jadi kemungkinan sayuran yang biasa hidup di
daerah dingin juga hidup di Bukittinggi.
Pertanyaannya.... Kenapa
kalau makan di rumah makan padang kita hanya disuguhi sayuran yang disebutkan
di atas? Ini perlu dicari data dan faktanya dulu. Dan perlu bolak balik ke
Bukittinggi ha... ha... ha.... Maunya sih begitu!
Rupanya enggak cuma nasi kapau yang khas di Bukittinggi, ada satu makanan lagi yang akhirnya mematahkan
mindset bahwa sayuran orang Sumatera barat itu-itu saja. Kalau di Jawa ada pecel,
lotek, gado-gado, ketoprak, nah, di Sumatera Barat ada Katupek Pical khas Kapau.
Katupek Pical Kapau
Jadi, di sebuah pagi yang
indah (sebelum saya mengunjungi Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta kemudian
dilanjutkan ke Kota Padang), saya diajak sarapan dulu oleh Pak Anto.
“Mau sarapan apa?” tanya
Pak Anto saat berboncengan di motor.
“Terserah. Aku ngikut
aja.” Saya menjawab sambil menghirup udara pagi Bukittinggi yang sejuk.
“Mau makan bubur ayam?”
tanyanya. Dalam hati, saya ingin menolak. Jauh-jauh ke Bukittinggi, makannya
bubur ayam he... he... he.... “Tapi,
ngapain ya makan bubur ayam. di Bogor juga banyak kan?” jawab Pak Anto
sepertinya membaca apa yang ada di benak saya.
“Iya, pak. Cari makan yang
khas Bukittinggilah.” Saya menjawab antusias.
“Baeklah! Kita ke Katupek Pical Kapau.”
Sekitar 10 menitan, motor
terparkir di pinggir jalan tepat di depan sebuah tempat makan kaki lima. Gerobak
dengan spanduk putih bertuliskan “Katupek
Pical Kapau” menjadi objek yang pertama kami lihat. Walaupun saya buka
orang Minang, saya dapat mengartikan makanan apa yang ada di balik gerobak ini.
Katupek yang artinya ketupat dan pical yang artinya pecel. Semoga dugaan saya
benar.
Foto dulu di Spanduk Putih "Katupek Pical Kapau"
Duduklah kami. Saya
melihat sang penjual meramu makanan yang akan dihidangkan untuk pelanggannya.
Saat kami datang pelanggan lumayan banyak, jadi sebelum pesanan kami dibuat,
saya duduk sambil sedikit bengong. Tuh kan, ternyata di Sumatera Barat khususnya
Bukittinggi ada pecel juga. Kalimat itu yang ada di benak saya waktu itu.
Sang penjual menaruh
piring, kemudian mengambil potongan ketupat dan menaruhnya di atas piring. Dengan
cekatan ia lalu mengambil mie kuning, daun
singkong yang sudah direbus, kol yang diiris tipis-tipis, rebusan tauge dan
irisan jantung pisang. Yummy, sebagai pecinta sayuran, katupek pical ini bakalan jadi list favorit saya. Setelah semua
bahan di masukkan di piring, sang penjual menyendokkan bumbu kacang ke dalam
piring lalu menambahkan kerupuk berwarna merah jambu di atas katupek pical.
Sang penjual katupek pical sedang meracik
Selang beberapa menit,
pesanan kami diracik dan dihidangkan. Air liur sudah saya telan berkali-kali
saat tadi sang penjual meramu makanan. Dan sekarang Katupek Pical Kapau sudah
ada di hadapan saya.
Bismillah. Sebelum makan
dan foto-foto, baca doa dulu agar makanan yang dimakan berkah dan bermanfaat
untuk tubuh. Setelah berdoa, saya ambil kamera untuk foto-foto sebentar. Kemudian...
Saya menyendokkan katupek pical ke dalam mulut. Dan....
aaargh... nikmatnya tiada duanya. Sayuran yang direbus cukup matang menyatu
dengan bumbu kacang lalu diakhiri dengan kerupuk yang renyah. Nikmat sekali.
Alhamdulillah.
Bumbu kacang di katupek pical ini sedikit berbeda dengan
bumbu kacang pecel atau gado-gado. Namun saya agak bingung menjelaskan letak
perbedaannya. Sebenarnya, secara bahan bumbu pecel ini nggak beda jauh dengan
bumbu pecel pada umumnya. Mungkin keadaan geografi dan cara masak yang khas
membuat cita rasanya jadi berbeda.
Saya menyantap sendok demi
sendok dengan rasa syukur yang luar biasa. Satu piring katupek pical telah tuntas saya habiskan. Perut kenyang tapi nggak bikin eneg. Alhamdulillah masih
diberi nikmat kesehatan, lidah masih diberikan nikmatnya makanan lezat dan raga
masih diberi kekuatan melangkah hingga Bukittinggi. Alhamdulillah.
Satu piring katupek pical ini harganya nggak mahal.
Persisnya saya kurang ingat, berkisar delapan ribu sampai sepuluh ribuan. Tapi nggak rugi sih. Rekomendasi banget
kalau suatu hari nanti kalian berkunjung ke Bukittinggi.
Perjalanan saya di Bukittinggi
tidak lama, hanya dua malam satu hari. Tapi seharian diajak jalan ke wisata
alam dan makan kuliner khas menjadi pengalaman yang luar biasa. Salah satunya
ya ini menikmati Katupek Pical Kapau
yang memang juara enaknya.
Yuuk ke Bukittinggi! Yuuk
makan katupek pical kapau!
***
Baca juga!
Tidak ada komentar
Posting Komentar