Sutradara
Favorit
Tidak banyak sutradara
film yang aku favoritkan. Hanya beberapa. Dan kalau sudah menjadi sutradara
favorit, film-film yang dibuat pasti akan aku sempatkan untuk menontonnya. Dulu
aku suka sekali film-film karya Garin Nugroho, semenjak nonton Angin Rumput
Savana di televisi aku jatuh cinta. Adegan demi adegan yang penuh dengan
simbolik hadir membuat pikiran aku cerah. Menerka maksud di setiap adegan. Sejak
saat itu aku selalu menanti-nanti film Garin Nugroho. Namun penantian itu
kandas karena beberapa film Garin tidak mudah tayang di bioskop, kalaupun
tayang hanya di beberapa bioskop pilihan. Dan ketika menonton film Garin
Nugroho yang lain, rasanya itu sudah berbeda. Enggak secerah saat nonton film
Angin Rumput Savana.
Sutradara favorit
berpindah ke Hanung Bramantyo, saat itu Hanung sedang menggarap film Ayat Ayat
Cinta. Setelah Ayat ayat Cinta meledak di pasaran saya menonton karya-karya Hanung
lainnya seperti Perempuang Berkalung Sorban, Get Merried dan Perahu Kertas. Aku
mulai menyukai karya-karya Hanung. Namun saat Hanung mulai menggarap film-film
bertema sensitif, saya mulai tidak tertarik dengan film-film garapannya. Kalau pun
nonton beberapa film karya Hanung lebih karena dengar review orang kalau
filmnya bagus.
Kemudian aku menemukan
Mouly Surya dan Kamila Andini. Dua sutradara perempuan ini membuat cerita yang
tidak biasa. Fiksi garapan Mouly Surya menarik perhatianku. Mirror Never Lies
karya Kamila Andini juga memikat hatiku. Sampai sekarang kedua sutradara perempuan
itu masih masuk daftar sutradara yang film-filmnya wajib aku tonton. Marlina Si
Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya) dan Sekala Niskala (Kamila Andini)
adalah film yang baru-baru ini mereka garap. Dan kedua film ini bersiang ketat
di perhelatan FFI 2018 kemarin.
Aku juga pernah suka
dengan karya-karya Riri Reza, yang sangat fenomenal adalah Laskar Pelangi. Beberapa
kali aku nonton film itu di bioskop. Saat DVDnya keluar aku juga koleksi.
Beberapa film Riri Reza aku tonton. Terakhir aku nonton Ada Apa Dengan Cinta 2,
dan itu film terakhir yang aku tonton lebih karena euforia AADC sebelumnya. Setelah
itu, aku jadi agak “males” nonton film Riri Reza semenjak pernah ketemu dan
kurang respect dengan sikap Riri (off the recordlah).
Sutradara favorit sekarang
berpindah ke Ernest Prakasa. Awalnya aku enggak terlalu suka sih secara personal,
apalagi Ernest termasuk stand up comedian yang agak gimana gitu kalau sedang
berkelakar. Apalagi
tipikal tipikal Ernest ini kupikir akan sama dengan komika sebelumnya Raditya Dika.
Mirip-mirip soalnya. Seorang komedian lalu buat buku dilanjutkan main film
dilanjutkan dengan menjadi sutradara film.
Saat film perdana Ernest
yang berjudul Ngenest dirilis, aku enggak minat sedikit pun. Padahal film
perdana itu meledak di pasaran. Kupikir ceritanya palingan begitu-begitu saja
setipe dengan film Raditya Dika. Film perdana lewatlah tidak kutonton.
Film kedua Ernest yang
berjudul Cek Toko Sebelah. Aku sudah mulai berminat, apalagi film ini tayang
saat liburan. Tapi aku dan saudara keburu nonton film Hangoutnya Raditya Dika
yang menurutku enggak banget. Akhirnya
aku batal nonton Cek Toko Sebelah. Tapi saat review dan tahu kalau film ini
ditonton 2 juta lebih penonton, terbesit penyesalan karena enggak nonton.
Sampailah di suatu hari,
saat kembali ke Bogor setelah mudik. Di tengah laut, di kapal ferry sedang
ditayangkan Film Cek Toko Sebelah. Penasaranku terbayar. Aku tonton film ini
dari awal. Ternyata dugaanku selama ini salah, Film Cek Toko Sebelah benar
benar kuat ceritanya. Komedi dapat, dramanya dapat, dan hikmah yang terkandung
di dalam cerita yang bisa diambil penonton juga dapat. Jadi enggak rugi bayar
tiket karena selain menghibur film yang dihadirkan memiliki hikmah yang bisa
dibawa pulang untuk dipikirkan, untuk direnungkan.
Kemudian Ernest membuat
film ketiganya yaitu Susah Sinyal. Aku enggak mau menyia-nyiakan kesempatan
ini. Film ini kutonton di hari pertama penayangan. Setting Sumba yang ngangenin
(maklum sudah tiga kali ke Sumba) menjadi daya tarik tersendiri. Soal konten film,
aku sudah percaya dengan Ernest dan itu benar-benar terbukti. Film Susah Sinyal,
selain menghibur dengan aksi komika-komika yang pas porsinya, drama tentang
ikatan anak dan ibu juga ngena banget.
Wajar saja sih, kalau film ini tembus dua juta penonton....
Milly
dan Mamet (2018)
Saat mendengar film Milly
dan Mamet akan dirilis dan salah satu rumah produksi yang membuatnya Miles Film,
aku agak gimana gitu. Sebenarnya enggak meragukan film-film produksi Miles sih cuma
jadi agak males saja sejak bertemu dengan Riri Reza (piss!).
Nah, kupikir film ini akan
digarap Riri Reza (kebayang bakal garing he... he... he...) namun ternyata
Ernest Prakasa yang didapuk untuk menjadi penulis skenario dan sutradara. Jadilah aku mengagendakan jauh-jauh hari buat
nonton film ini.
Yang ditunggu-tunggu akhirnya
tiba, aku nonton di hari kedua. Hari pertama enggak sempat buat nonton karena
kesibukan.
Film Milly dan Mamet bercerita
tentang kehidupan berkeluarga Milly dan Mamet. Film ini merupakan spinoff dari
Film Ada Apa dengan Cinta. Sehingga jangan heran jika di beberapa adegan genk
Cinta akan muncul.
Masalah rumah tangga Milly
dan Mamet cukup pelik. Satu sisi Mamet ingin bekerja sesuai dengan passionnya,
satu sisi ada jeda antara Mamet dengan ayah mertua, satu sisi Milly yang ingin
memiliki kesibukan dari sekadar mengasuh Sakti anak mereka. Kemudian pertemuan
antara Mamet dan Alex, kawan lamanya yang akhirnya berbisnis bareng. Konflik
demi konflik ini yang diramu sedemikian rupa oleh Ernest ditambah para pemain
pendukung yang membuat film ini begitu menghibur.
Ada dua pemain pendukung
yang mencuri perhatianku yaitu kehadiran Isyana Sarasvati dan Melly Goeslaw.
Kupikir porsi Isyana di film ini hanya cameo numpang lewat doang. Ternyata Isyana tampil di beberapa adegan. Setiap adegan “gokilnya”
Isyana terlihat natural dan ngegemesin
dan mengundang tawa penonton tentunya. Isyana terlihat nggak kaku, padahal jika dilihat, ini adalah film pertama Isyana.
Pemain lainnya yang nggak kalah kocak adalah kehadiran Mamah
Ice yang dimainkan oleh Melly Goeslaw. Kehadiran Melly yang hanya terdapat di
beberapa adegan juga mengundang tawa penonton. Keren lah...
Akting pemain utama
seperti Dennis dan Sissy meyakinkan, hanya akting Dennis yang “sedikit” kurang
konsisten. Peran-peran lainnya porsinya pas menurutku. Para komika yang berperan sesuai porsinya dengan dialog-dialog
segar juga pas dan ini merupakan kekuatan dari film film Ernest.
Hal lain yang jadi kekuatan
film ini adalah pesan yang ingin disampaikan tentang pentingnya keluarga.
Tipikal film Ernest yang menghibur dan mengandung pesan adalah kekuatan utamanya.
Kebanyakan film menghibur iya, lucu iya tapi pesannya enggak ada. Ada juga film
yang pesannya ada tapi dikemasnya enggak menghibur. Aku sih berharap Ernest tetap konsisten dan enggak coba buat film yang “aneh-aneh”.
Yang sedikit mengganjal di
film ini adalah masuknya beberapa soundtrack
lagu yang kurang pas. Seperti lagu Luluh milik Isyana Sarasvati dan Rara Sekar.
Pas masuk adegan berasa enggak klop aja.
Padahal salah satu yang aku tunggu di film ini adalah masuknya lagu soundtrack.
Namun secara keseluruhan
Milly dan Mamet adalah film yang manis di akhir tahun 2018.
***
Banyak sutradara-sutradara
film yang bermunculan. Namun sedikit yang dapat mencuri perhatian. Mouly Surya,
Kamila Andini dan Ernest Prakasa adalah sutradara favoritku saat ini. Semoga
mereka konsisten berkarya dengan kekuatannya masing-masing sehingga warna film
indonesia makin beragam dan berkualitas.
Dan.... Mudah-mudahan
tulisan ini bermanfaat. Terima kasih.
Tidak ada komentar
Posting Komentar