Pernah enggak sih
merasakan khawatir akan sesuatu? Setiap manusia pasti punya rasa khawatir.
Hanya saja yang membedakan adalah kadar kekhawatiran itu. Apakah sewajarnya
atau kadarnya telah melampaui batas alias berlebihan.
Saya termasuk memiliki
kekawatiran yang berlebihan. Saking
khawatirnya, itu bisa jadi sugesti kuat untuk diri sendiri. Dan saya mengalami
itu. Tidak terjadi hanya sekali, bahkan terjadi berkali-kali.
Bibit-bibit kekhawatiran
berlebihan itu sudah ada sejak saya kecil. Pola asuh orangtua yang membangun
kekhawatiran dengan sikap over protected
dengan apapun yang saya lakukan. Selain itu, saya juga melihat perilaku
orangtua terkait dengan sikap khawatir ini, dan ibu sayalah yang menunjukkannya,
turun ke saya dengan faktor yang kuat, saya lebih dekat dengan ibu. Setelah
dewasa baru saya tahu ayah saya juga tipikal yang khawatir juga.
Saat memasuki Sekolah
Dasar, saya termasuk siswa berprestasi. Di kelas satu dan kelas dua, saya selalu
juara kelas. Hingga akhirnya, saya dipindahkan ke sekolah di lain desa dengan
alasan sekolah tersebut adalah salah satu sekolah terbaik dan peluang masuk ke
sekolah menengah pertama terbaik di kotaku lebih besar. Saya mengkuti.
Namun, berpindah ke sekolah
nyatanya membuat saya drop. Saya sakit yang “tidak sakit”, sampai di sekolah
sakit namun ketika berada di rumah sehat-sehat saja. Itu terjadi beberapa
minggu hingga akhirnya saya mampu beradaptasi. Saat itu, yang saya rasakan
adalah kekhawatiran yang terlalu berlebihan, khawatir tidak punya teman,
khawatir dengan lingkungan baru dan khawatir terhadap pelajaran Agama Islam
karena saya belum bisa membaca huruf hijaiyah. Di sekolah sebelumnya, saya
santai dan bisa mengikuti.
Kelas tiga saya lalui
dengan ketakutan demi ketakutan, nilai akademis terjun bebas. Predikat juara
kelas di sekolah sebelumnya seperti tidak membekas sama sekali. Di kelas tiga,
sama saja. Bahkan momok pelajaran Agama Islam menghantui apalagi saat diminta
membaca Iqro atau sejenisnya. Saya menyerah.
Yang saya ingat, pelajaran
Agama Islam ada di hari Kamis, dan saya sangat membenci Kamis pagi hingga Kamis
siang karena ada pelajaran Agama Islam. Jadi, setiap pagi di hari Kamis,
tiba-tiba badan saya sakit, panas dan lemas. Saya minta untuk tidak masuk
sekolah kepada ibu. Ibu setuju. Siang menuju sore, badanku langsung semangat,
segar dan tidak terlihat sakit, karena di jam tiga sore, ada serial Ultraman
yang selalu saya tunggu di hari Kamis sore. Kocak ya?
Kekhawatiran berlebihan
yang masih saya ingat hingga sekarang adalah saat hari Selasa diperingati Hari
Pendidikan, saya lupa persisnya. Namun di hari itu, saya lupa bawa topi dan
rumornya akan dilaksanakan upacara bendera. Kekhawatiran saya memuncak, saya
takut dihukum. Saya lari ke pangkalan ojeg tempat ayah saya berada. Sepanjang
perjalanan saya menangis ketakutan. Sampai di pangkalan ojeg, ternyata ayah
tidak ada. Saya meminta teman-teman ayah yang berada di situ untuk mengantarkan
saya pulang demi mengambil topi. Namun mereka tidak mau. Saya kembali ke
sekolah dengan membawa tangis dan kekhawatiran. Ah, cengeng sekali waktu itu.
Ternyata tidak ada upacara bendera seperti yang saya khawatirkan.
Kekhawatiran demi
kekhawatiran tumbuh dan berkembang di raga saya. Di kelas 4 nilai akademis saya
masih terjun bebas. Saya mulai percaya diri dan mulai tidak khawatir ketika
saya kelas 5 dan kelas 6, nilai saya cenderung stabil, di kelas lima saya masuk
lima besar. Dan saat pengumuman nilai ujian akhir, nilai saya terbesar kedua di
sekolah.
Kekawatiran itu belumlah
usai. Di sekolah menengah pertama, kemudian melanjutkan di sekolah menengah
atas lantas ke jenjang kuliah, kekhawatiran itu masih bisa diatasi. Tidak
terlalu berlebihan. Masih wajar ketika saya takut jika harus pindah dari kelas
unggulan, khawatir jika tidak masuk perguruan tinggi negeri, khawatir ketika
tidak mengumpulkan tugas kuliah dan kekhawatiran-kekhawatiran lainnya.
Hingga akhirnya....
Saat sudah beres kuliah
dan bekerja, saya masih bisa mengatasi kekhawatiran demi kekhawatiran.
Tahun 2015, saat saya
terkena DBD dan dirawat di salah satu rumah sakit tua, kekhawatiran mulai
memuncak ketika perawat tanpa adab datang dan memarahi saya karena bolak-balik
ke kamar mandi.
“Trombosit bapak itu turun
lagi. Jangan banyak gerak! Nanti terjadi pendarahan,” ujarnya ketus.
Entah kenapa sejak
mendengar perkataan perawat itu, kekhawatiran saya mulai berkumpul. Trombosit
saya sudah masuk angka 18.000 dari 23.000 di hari sebelumnya. Saya buka google,
akses mudah mendapatkan informasi. Namun, saya salah langkah. Artikel demi
artikel tentang turunnya trombosit dan akibat fatalnya membuat saya makin drop,
makin khawatir.
Selesai dirawat, saya recovery dan kembali beraktivitas
seperti semula. Hingga setelah sarapan pagi tiba-tiba saya muntah dan
mengeluarkan semua sarapan pagi. Saya langsung ambil langkah hanya makan nasi
lembek. Entah kenapa saat itu kekawatiran saya berlebihan sekali...
Saya drop. Dari tulisan
demi tulisan yang saya baca di google, saya menderita maag akut, saya kena gerd
(Penyakit asam lambung atau Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)) karena beberapa gejala
sudah menghampiri. Makanan yang saya makan pun saya batasi. Saya pulang ke
kampung halaman untuk menenangkan diri. Pikiran saya kemana-mana. Kekhawatiran
saya makin menjadi-jadi.
Waktu terus berjalan. Maag
yang saya alami sudah reda. Saya mulai ragu dengan gerd yang saya alami,
semakin waktu berjalan saya baru tersadar bahwa saya tidak terkena gerd. Itu
hanya sugesti akibat kekhawatiran yang berlebihan. Ah, bodohnya saya waktu itu
hingga benar-benar seperti orang yang memposisikan diri terkena gerd.
Tahun-tahun berikutnya
saya alami dengan masih menyisakan kekhawatiran. Beberapa kali sakit pikiran
seperti mengajak melanglang buana karena saking khawatirnya. Saya menyadari
beberapa sakitnya tubuh selain karena memang sedang mengalami sakit adalah
karena pikiran dan rasa khawatir yang berlebihan. Untuk menyudahinya, rupanya
tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kekhawatiran yang
berlebihan yang saya alami karena pikiran yang terlalu bebas berpikir. Berpikir
tentang kekhawatiran itu sendiri. Mengalami hal tertentu dipikirkan.
Mendapatkan perlakukan yang tidak enak dipikirkan. Berbuat sesuatu yang
menyalahi aturan manusia dipikirkan, menonton video tentang sesuatu yang
mengerikan juga dipikirkan. Melakukan terget untuk blog pribadi juga
dipikirkan. Pikiran-pikiran itu bermuara pada kekhawatiran yang berlebihan.
Kalau sudah begitu, ada
beberapa hal yang saya lakukan. Memperbanyak istighfar. Kalau pikiran sudah ngelantur kemana-mana, saya coba untuk
tepis dan menyudahi sembari beristighfar. Jika keadaan tubuh sedang sakit atau
mengalami sesuatu, mengurangi pencarian di intenet juga mulai saya lakukan.
Apalagi banyak artikel-artikel yang memberi informasi tapi dengan bahasa-bahasa
yang menakutkan. Bukannya tercerahkan, makin buat khawatir. Saya masih mencari
informasi di google, tapi lebih cari artikel yang bersifat testimoni terutama
dari blogger-blogger yang pernah mengalami hal yang serupa.
Saya sadar kekhawatiran
berlebihan yang saya alami adalah investasi orangtua terhadap diri saya. Namun,
kelak saya akan meminimalisir ini agar anak-anak saya tidak memiliki karakter
yang sama, terlalu banyak mikir hingga lupa akan kebahagiaan hidup dan akhirnya
menjadi pribadi yang terlalu khawatir.
Jujur, kekhawatiran yang
paling mengkhawatirkan adalah mengkhawatirkan kekhawatiran itu sendiri. Dan itu
melelahkan. Benar-benar melelahkan....
Semoga saya dan siapapun
yang memiliki karakter pemikir dan memiliki kekhawatiran yang berlebihan dapat
senantiasa mengatasi dengan baik dan tepat. Aamiin.
Ada quote yg aku ingat, Kak
BalasHapus"The only thing we have to fear is fear itself"
--bukanbocahbiasa(dot)com--
haha betul mba nurul.
Hapusharry potter ke berapa tu ya, gurunya harry potter yang warewolf mengatakan, kalau harry takut terhadap ketakutan itu sendiri.
sebenrnya bagus jika kita sudah menyadari itu, takut terhadap ketakutan itu sendiri, khawatir terhadap kekhawatiran itu sendiri.
semoga mas erfano bisa mengatasi kekhawatiran yang berlebih dan selalu dilindungi Allah SWT. Aaaamiiin ya Allah
Aku pernah kekgini di akhir-akhir masa mondok, jadi tuh di kelas akhir lebih ketat aturannya, saat itu beberapa kali masuk mahkamah bahasa karena kethauan berbahasa Indonesia.
BalasHapusYang terjadi aku stres, sering sakit kepala, beberapa kali dibawa pulang, sembuh, balik ke pesantren eh sakit lagi,bahkan pernah sampe minum obat tuh bukan sehari 3 kali tapi kaya yang bener-bener kalau berasa sakit dikit harus minum dan itu dokter saraf huhu
Sampe akhirnya setelah keluar aku tuh jarang yang sakit kepala macem di pondok, akhirnya aku sadar kayanya itu kaya yang mas tulis ini kekhawatiran berlebih jadi cepat stres dan akhirnya sakit kepala
Semoga nggak pernah lagi begitu, baiknya memang kita harus santuy 😂
Mas, sepertinya ini inner child deh. Ada terapinya kok. Bisa diusahakan sendiri atau lebih baik lagi minta bantuan psikolog dan ahli serupa.
BalasHapusJust my two cents:)
Wah inspiratif sekali tulisannya, bikin merenung. Khawatir boleh asal jangan berlebihan biar ga parno. Semangat yak pokonya...
BalasHapusbagus juga nih quote : “Kekhawatiran yang paling mengkhawatirkan adalah mengkhawatirkan kekhawatiran itu sendiri.”
BalasHapustapi saya tidak mengerti apa yang dimaksud quote tersebut?
Akupun kalau banyak pikiran, khawatir dan resah ngaruhnya ke asam lambung dan rasanya gak enak banget. Ternyata ga bisa disepelein asam lambung ini, bisa menyebabkan magh akut. Untuk yang punya aktifitas menulis harus pinter jaga kesehatan terutama asam lambung ini
BalasHapusSaya juga sering begitu. Khawatir sampai hati deg degan kencang sekali lalu keringet dingin dan jadi serba salah ujung ujung nya badan jd gak enak awalnya bingung ini kenapa ya , coba cari tau ya itu jawaban nya saya terlalu khawatiran jadi orang.
BalasHapusDari cerita Mas Erfabo ini, memang benar, kekhawatiran berlebihan itu datang dari orang tua, Mas Erfano. Masa anak-anak yang masih jiwa mengikuti, akhirnya secara tidak langsung membuat Mas Erfano selalu merasakan kekhawatiran yang berlebihan.
BalasHapusMisalnya nih, diajak berenang teman, pasti mikirnya, bagaimana kalau di sana ramai? bagaimana kalau nanti tenggelam? bagaimana kalau di jalan ada apa-apa?
Padahal biasanya, kalau anak mengalami khawatiran seperti ini, ornag tua yang membantu. Misalnya, kamu pergi saya berenang, nanti ada Ibu yang menemani. Atau kamu bernenang saja, kan ada penjaga kolam, dan lainnya.
Kalau begini memang harus berpikirian positif, setiap kali ingin melakukan sesuatu hal, Mas. Semoga rasa kekhawatiran berlebihan itu bisa segera berkurang dan bahkan hilang ya, Mas. Semangat.
Penyakit itu timbul malah dari pikiran katanya ya Mas. Kl terus menerus khawatir lama kelamaan kekhawatirannya jd nyata, ihh jgn sampe deh yaa. Bagus ini remindernya Mas Erfan. Jd kita gak perlu merasa khawatir berlebihan ya. Tfs
BalasHapusApa2 yg berlebihan memang nggak baik ya mas. Aku juga masih sering gitu, pas baper datang, khawatir bakal ketemu orang2 yg buat aku kesel sampe mikir entah kemana2. Padahal pas beneran ketemu, yang aki khawatirkan itu nggak kejadian lho. Memang kita harus bisa mengendalikan rasa khawatir kita sendiri agar hidup juga lebih tenang.
BalasHapusApa2 yg berlebihan memang nggak baik ya mas. Aku juga masih sering gitu, pas baper datang, khawatir bakal ketemu orang2 yg buat aku kesel sampe mikir entah kemana2. Padahal pas beneran ketemu, yang aki khawatirkan itu nggak kejadian lho. Memang kita harus bisa mengendalikan rasa khawatir kita sendiri agar hidup juga lebih tenang.
BalasHapusSetuju sama judulnya, seiring bertambah umur saya malah udah jarang khawatir .Yang sudah di takdirkan suka gak suka pasti terjadi jadi jalani hidup dengan hepi saja .Teteap semangat kawan
BalasHapusterlalu khawatir membuat kita malah menjadi susah mengontrol kepercayaan diri, jadi kalau saya pribadi menyimpulkannya seperti ini bang "khawatir secukupnya saja"
BalasHapusInspiratif sekali nih mas. Saya pernh begini. Dan benar karena ortu over protective deh. Makanya saya terapin ke anak kalau sebagai orang tua boleh khawatir asal tdk berlebih
BalasHapus