Adab bersedekah salah satunya adalah tidak menyakiti hati si penerima sedekah.
***
Baca juga:
Polisi Tidur
Tukang Parkir
“Jadi kita bagiin sembako di
kampung mana?” ucapku sembari mengecek perlengkapan kamera.
“Pak Erfan kebagian di Kampung Petir
atas. Jadi dari perumahan Taman Seruni, Pak Erfan terus ke atas. Nanti beberapa
kelompok berjalan bersama-sama terus nanti ditunjukin rumah mana yang akan
dibagikan sembako sama pendamping yang kemarin udah survey,” jelas salah satu
guru kelas. Aku membalas dengan mengangguk-anggukkan kepala.
Seperti biasa, bagi-bagi sembako
adalah salah satu kegiatan rutin yang kerap dilakukan sekolahku. Biasanya anak-anak
yang dilibatkan adalah anak-anak SD level atas yaitu kelas 4, 5 dan 6. Sembako yang
dibagikan ditentukan perkelompok, siapa yang membawa sembako apa. Setiap kelompok
akan ada guru pendamping termasuk aku.
Nah, sembako-sembako ini dibagikan
untuk warga yang kurang mampu di perkampungan sekitar sekolah. Untuk level yang
lebih tinggi seperti SMP, anak-anak melakukan kontribusi yang lebih luas lagi
kebermanfaatannya, seperti membuat taman bacaan di perkampungan tertentu atau
merapikan musala menjadi tempat ibadah yang layak. Sasarannya juga tidak hanya
di kampung di sekitar sekolah. Cakupannya sudah lebih luas.
“Kelas 5 berkumpul sesuai
kelompoknya!” Salah satu guru memberikan instruksi kepada anak-anak kelas lima
untuk berkumpul. Kebetulan kegiatan berbagi sembako ini memang giliran anak
kelas lima.
Anak-anak mulai memenuhi lapangan,
di tangan mereka sudah ada ragam sembako yang akan dibagikan. Ada yang membawa
beras, minyak goreng, gula, tepung terigu, dan garam.
Anak kelas lima berbaris sesuai
kelompok. Satu kelompok terdiri dari 4 anak, satu kelas terdiri dari 24 anak,
kelas lima ada tiga kelas. Jadi ada sekitar 18 kelompok yang akan menyebar ke
tiga kampung di sekitar sekolah.
“Kelompok yang duluan berangkat
adalah kelompok yang ke Kampung Sela Awi.
Dilanjutkan yang ke Kampung Petir Atas dan Kampung Petir Bawah.”
Saya beserta kelompok yang akan
berkunjung ke Kampung Petir Atas dan Bawah bergegas. Sepanjang perjalanan,
anak-anak sesekali bercanda satu sama lain karena lokasi lumayan jauh dan
ditempuh dengan berjalan kaki.
Satu kelompok telah “landing”
untuk menyampaikan sembakonya, kelompok berikutnya pun begitu. Dan giliran
kelompok kami yang mulai berbelok dan masuk pelataran rumah yang dituju.
Rumah yang akan kami bagikan
sembako terlihat begitu kecil. Sekitar 20an meter.
“Assalamualaikum,” ucap kami
bersama-sama. Tak ada jawaban. Kami kembali mengucapkan salam. Pintu dibuka.
“Waalaikumussalam,” ucap seorang
ibu usia sekitar 40 tahunan. “Mangga, masuk,” ucapnya dengan logat bahasa Sunda
yang cukup kental. Kami pun memasuki ruang tamu yang tidak begitu luas,
terlihat cukup sempit tatkala kami sudah duduk.
Kami pun masuk hendak
menyampaikan, beberapa sembako yang sudah dibawa anak-anak. Ibu itu tersenyum.
Ada gurat bahagia yang terpancar dari wajahnya.
Dari cerita yang saya dengar, sang
ibu dan anak tunggalnya mendiami rumah ini bersama sang suami. Sudah dua tahun
ini, kaki suaminya terkena lumpuh dan tidak dapat melakukan pekerjaan apa-apa.
Sang istrilah yang akhirnya menggantikan peran suaminya, menjadi buruh cuci
lepas yang tidak seberapa penghasilannya.
“Bu, kami menyampaikan sembako ini
untuk ibu dan keluarga,” ucap salah satu muridku. Ibu itu membalasanya dengan
tersenyum.
“Semoga bermanfaat ya, bu,” ucap
siswa yang lain. Ibu itu kembali tersenyum.
“Ibu kita mau ambil foto di depan,”
ucap saya.
“Enggak minum dulu, pak?” ucapnya
merasa tidak enak.
“Enggak usah, bu!” Saya menjawab.
Ibu itu mengangguk kemudian kami bergegas keluar dan mulai melakukan foto
bersama.
Kami pun berjajar, Beberapa
sembako diserahkan ke ibu untuk difoto dan dilaporkan ke donatur, dalam hal ini
adalah orangtua murid yang membawakan sembako ke anak-anak mereka.
Saat akan mengambil foto,
tiba-tiba seorang pria usia 25 tahun ke atas, ‘memarahi kami.’
“Berhenti foto-foto. Untuk apa?”
ucapnya dengan wajah yang tidak bersahabat. Seketika suasana menjadi tidak
kondusif.
“Udah, enggak apa-apa,” ucap sang
ibu sambil menyuruh kami berfoto.
Sempat dilanda kebingungan, pria
itu kembali berbicara, “Buat apa foto-foto? Kalau mau bersedekah ya bersedekah
saja. Nggak perlu kan foto-foto.”
Saya tersenyum tipis, “Iya pak,
maaf. Ini hanya untuk laporan saja pak. Tidak akan dipublikasikan,” ucap saya.
“Kami tahu kami enggak mampu. Tapi
enggak begini dong caranya. Kami juga punya malu,” ucapnya.
Deg! Hati saya seolah ditampar
keras dengan ucapan terakhirnya. Ya Allah, rupanya mengambil foto ini
menyinggung perasaan pria itu dan mungkin juga sang ibu. Tapi sang ibu tersenyum
dan meminta pria yang entah siapanya itu untuk pergi.
Suasana yang makin tidak
mengenakkan membuat kami harus bergegas pergi. “Ibu, mas, kami pamit ya. Maaf
kalau menyinggung perasaan ibu dan mas,” ucap saya.
“Ah tidak apa-apa. Saya yang
justru minta maaf karena bukannya disuguhi minum malah dibuat enggak enak
jadinya,” ucap sang ibu. Pria yang masih berdiri di pinggir rumah hanya menatap
kami dengan wajah yang terlihat kurang suka.
“Iya bu enggak apa-apa. Semoga
sembakonya bermanfaat ya, bu.” Saya dan anak-anak kemudian menyalami sang ibu
dan berpamitan. “Ibu, mas... kami pamit dulu! Assalamualaikum,” ucap saya dan
anak-anak.
Saya pun meninggalkan rumah sang
ibu dengan hati yang begitu luruh. Sepanjang perjalanan, anak-anak tidak
bertanya apa yang telah terjadi. Namun saya menjelaskan begitu saja dengan
bahasa yang begitu sederhana. Intinya, hari ini kami sama-sama belajar saling
menghargai.
***
Peristiwa berbagi itu sudah saya lupakan karena terjadi beberapa bulan silam. Saya juga jarang diajak ikut mendampingi anak-anak level atas karena kesibukan lain.
Hingga akhirnya...
Sebuah tulisan tentang sedekah nasi
yang akhir-akhir ini booming, saya baca. Saya terperangah, dan kembali
mengingat pembagian sembako waktu itu.
Dari tulisan di facebook itu, ada
poin yang menarik saya
Berceritalah dia...
Dulu, saat awal-awal ada yang bagi nasi ia sangat malu
ketika harus difoto. Bahkan sempat tersinggung dengan seorang ibu berkacamata
yang menjulurkan nasi dari mobil mewah mengkilap. Namun seiring waktu, perut
ternyata lebih penting dari ego. (facebook. Nur Faizah).
Malu adalah poin yang sama dengan
yang saya terima saat berbagi sembako beberapa bulan lalu.
Dari beberapa literatur yang saya
baca. Salah satu adab dalam bersedekah adalah tidak menggugurkan sedekah dengan
mengungkit-ungkit dan menyakiti orang yang menerima sedekah. Hal ini seperti
yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 264, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)....”
Mungkin foto-foto dapat dijadikan
laporan bahwa sedekah yang didonasikan benar-benar direalisasikan. Menurut saya
lebih baik foto diambil secara candid dan penerima diblur. Tidak perlulah
membagikan sedekah dengan acara simbolis dan meminta mereka untuk tersenyum
saat difoto.
Akhirnya, kita sama-sama belajar
(terutama saya). Bahwa melakukan kebaikan memang sebuah keharusan sebagai
manusia tentunya tanpa menyakiti hati manusia yang lain.
Wallahualam.
JAdi inget cerita yang lagi booming di sosmed ya mas. Tapi kadang kita sebagai orang yang menyerahkan bantuan jadi buah simalakama loh mas, takutnya jika tidak ada dokumentasi, kita disangka kurang bertanggung jawab.
BalasHapusIya bener.
HapusDokumentasi itu laporan klo kita bener2 sdh menjalankan tugas.
Tapi klo si peberima sodaqoh jadi ndak enak hati ya ndak bisa disalahin juga.
Tapi candid saya rasa solusi yg baik juga
Saya pernah sesekali buat laporan sedekah mas. Tapi biasanya saya gak foto penerimanya,
BalasHapusbiasanya dalam bentuk uang. Sekian buat sebuah yayasan.
Biasanya saya upload saja nota serah terima lalu saya tag oknum biar donatur yang butuh tau lebih jauh bisa menghubungi.
Kadang donatur malah gak butuh beneran udah nyampe atau disalurkan atau belum, tapi hanya sebagai rasa tanggung jawab saja.
Bener juga ini ..
HapusSaya juga pernah membuat laporan pertanggungjawaban penyerahan barang dengan tanda tangan penerima.
Ini yang lagi booming itu ya? Saya beberapa kali mengadakan acara bagi-bagi seperti ini, biasanya sih sebelum ambil foto ya minta izin dulu. Kalau untuk pertanggungjawaban biasanya saya pakai nota pembelian
BalasHapusMemang semua tergantung niat,
BalasHapusDan betul sekali harus menjaga perasaan saudara kita,
Tapi justru terkadang harus "diberitahukan" karena bisa jadi menginspirasi orang lain untuk berbuat baik juga,
Tapi baiknya memang minta izin, kalau dia merasa berat, untuk laporan saja bukan untuk mempublikasikan..
Iya, aturannya memang ketika kita memberi bantuan tidak boleh merendahkan apalagi menyinggung perasaan. Tapi untuk keperluan laporan yang kadang merepotkan. Mungkin sebaiknya difoto tampak belakang saja ya...
BalasHapusMasya Allah aku tertohok mas, Meski sebenarnya ya benar juga sih...
BalasHapusKalo si penerima malu ya memang kurang baik ya mas, tapi bingung juga karena kita harus laporan kepada donatur. Jadi ya bisa jadi solusinya ya candid aja. gak usah foto berdampingan gitu yaaa. thank you mas udah sharing akan hal ini yang seringkali luput dari perhatian kita
Saya beberapa kali pernah ikut baksos sumbang menyumbang begitu. Sebisa mungkin saya mengambil foto yang banyak orangnya. Tujuan saya jadi tidak fokus sama satu orang saja. Untuk menghargai privasi dari yang menerima sumbangan.
BalasHapusSaya setuju lebih baik foto diambil candid saja dan diblur penerimanya, kalau memang harus ada laporan ke donatur. Mereka kaum tak berpunya ini juga punya hati, karena kadang lebih banyak foto dan eksposenya daripada besaran amalnya.
BalasHapusSeperti yang terjadi setiap tahun (dulu enggak tahu sekarang) di Kediri. PT Gudang Garam di kotaku kalau bagiin THR itu manual, per orang. Jadi ratusan orang puasa-puasa (biasa H-3 Idul Fitri) ngantri dari jam 4 Subuh. Desak-desakan, sampai selalu ada korban pingsan. Belum lagi petugas teriak-teriak sampai kayak apa aja. Kalau menurutku kok lebih baik didata terus didatangi. Atau lewat badan yang berwenang aja. Biar mereka merasa dihormati.
Saya pun sempat membaca postingan nasi bungkus itu di facebook, Mas Erfano. Malah Bapak itu yang mengatakan duluan, "Tidak diambil fotonya?"
BalasHapusDam memang miris ya, Mas. Segalanya harus direlakan karena urusan perut. Jadi saya setuju, bila ingin memberi, cukup kita sendiri, si penerima dan Tuhan yang tahu. Seperti kalimat bijak, tangan kanan memberi, tangan kiri tak usah tau.
Duh, aku jadi teringat sebuah bacaan di status LinkedIn, mas. Tapi soal status di Facebook itu aku belum nemuin mas
BalasHapusMakasih buat pencerahannya ya mas, saya setuju akan opsi misalkan saat membagikan foto di blur saja, atau tidak usah dikasih liat orangnya
Saya juga kemarin baca terusan status soal nasi bungkus. Miris jadinya sekaligus bikin saya harus berhati-hati dalam memberi karena meski bukan untuk publikasi, pasti ada rasa tidak nyaman bagi yang terima bantuan. Saya juga pernah merasa gitu kala alami musibah dan orang ramai bantu.
BalasHapusSedekah yang baik memang dengan cara yang tersamarkan saja, jangan untuk publikasi karena nanti ada kesan riya.
Diperumahan tempat aku tinggal juga sudah melakukannya. Seikhlasnya setiap hari jumat
BalasHapusSebenernya tergantung niat awal berfoto kali ya mas. Kalo mau riya' di medsos ya jelas nggak banget. Tapi kalo niatnya sebagai bukti ke pihak tertentu bahwa sedekahnya telah disalurkan dengan baik, malah sebaiknya didokumentasikan dengan foto.
BalasHapusSerba salah ya mas. Mgkn ide secara candid bagus juga. Dan mgkn yang diambil cuma suasana saja, bukan orang per orang penerima bantuan. Ternyata tidak baik juga ya, kalau maksudnya baik namun tidak benar pelaksanaannya.
BalasHapusMiris memang dizaman sekarang
BalasHapusJadikan pembelajaran untuk kita kedepan nya, agar lebih ikhlas dalam memberi sedekah
Wah ini status membahas yang sempet viral di medsos itu ya mas :D
BalasHapusYaa intinya kyknya kembali ke niat ya mas, sedekah krn apa, di satu sisi juga utk pelaporan pertanggungjawaban.
Utk publikasi medsos emang ada baiknya wajahnya gak ditampakkan sih menurut saya ya. Tapi yaaaa lagi2 balik ke niat dan niat. Moga kita selalu diluruskan niat kita dalam bersedekah aamiin.
Sudah 3 tahun ini, kami melakukan bagi sembako secara senyap. Tak ada publikasi, hanya ada renungan dan sendu bersama di grup. Kami tak mensyaratkan pembawanya memotret penerima. Cukup secara candid, rumahnya, dan bagian tangan yang menerima bawaan. Kami tahu, dan percaya, karena biasanya tim pemberi akan dengan sendu bercerita bagaimana keadaan penerima kami. Karena, syarat penerima adalah: janda/duda, miskin, rumah masih kayu. Dan adakalanya penerima malah tinggal di kebon tetangga, beratap langit, berdinding terpal, tanpa listrik. Ya Allah Gusti... tiap ingat itu, saya masih merasakan pedihnya.
BalasHapussaya pribadi lebih memilih untuk memberikan secara langsung tanpa harus foto, karena takut mengganggu privasi si bapak
BalasHapusIni jadi peringatan buat kita semua, menurutku lebih etis emang kalo fotonya candid aja karena ga sekua orang suka dipublikasikan, kejadian ini bikin aku lebih hati2 untuk selalu minta ijin foto sama orang lain terutama pas lagi ada event atau kunjungan kemana gitu
BalasHapusSebenarnya konsekuensi dr pembagian ya, kl gak mau difoto kan bs disampaikan baik². Lagian di zaman now apa² report-nya itu berupa link, berisi dokumentasi kegiatan, penerima juga mestinya dipahamkan hehe
BalasHapusDi kota saya juga ada gerakan rutin bagi bagi nasi bungkus gini. Alhamdulillah donaturnya pun selalu ada.
BalasHapusGak ada target total harus jadi berapa, tapi senangnya karena program eh gerakan ini selalu rutin diadakan :)
Kalo biasanya di mesjid ada tempat buat sedekah nasi bungkus gitu mbak, jadi siapapun boleh ngambil disana
BalasHapusAgak giman gitu ya, Mas. Serba salah, difoto, takut riya, engga difoto kesannya nga ada bukti.
BalasHapusTapi ya gimana?
TApi saya setuju sama metode candid dan blur gitu sih. Setidaknya terlihat pelaksanaannya di lapangan :D
Saya setuju seh mah dengan metode blur gitu, atau di tutupi wajahnya penerima. Untuk menjaga dan menghargai privasi si penerima.
BalasHapus