Lalap yang biasanya jadi pelengkap itu banyak banget ada daun singkong yang direbus, timun mentah, daun kemangi, daun jambu monyet/mede, tauge, rotan muda, daun mangga muda (cobain deh), singkong mentah, pisang tua (biasanya pisang muli) yang belum matang dan jenis lalap lainnya. Beberapa lalap terlihat anti mainstream, tapi itu realita sih, dan aku mengalami dan menikmati itu semua.
***
Baca Juga:
Kopi Lampung
Bicara soal makanan yang ngangenin dan ngingetin
akan kenangan di kampung halaman tercinta, pastinya ada banyak. Ya kan? Kalau
di Lampung, makanan yang buat aku kangen dan pengen cepat pulang, salah satunya adalah Seruit Lampung.
Kebiasaan berkumpul di Lampung pastinya perlu
makanan pemersatu. Kalau berkumpul kan biasanya ada camilan tertentu, nah di Lampung
juga begitu, hanya saja, pasti ada satu makanan berat yang dimakan bareng bareng. Dan itu ada di Seruit Lampung.
Secara geografis sumber daya yang ada di Lampung
itu beragam mulai dari sumber daya alam yang mendatangkan aneka hewan dan
sayuran dan sumber daya sumber daya lainnya. Aku tinggal di Lampung dari lunik (baca:kecil), jadi khatamlah kalau
berhubungan dengan sumber daya yang ada.
Dulu, pas
masih usia SD kelas 3 dan 4, mencari ikan adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu.
Sungai yang lumayan tenang dan tidak dalam adalah surga tempat tinggal aneka
jenis ikan. Ikan yang sering aku peroleh adalah ikan gabus, ikan belida, ikan
betok, ikan sepat dan ikan kecil-kecil yang aku enggak tahu namanya. Yang seru
lagi, aku juga kadang dapat udang air tawar, yang kalau digoreng atau dibuat
bakwan ikan (ikan kecil dan udang dicampur bumbu dan tepung) udang udang tersebut
akan berwarna oranye. Kalau dimakan dengan sambal terasi, rasanya juaraaaa
enaknya.
Sebagai orang Lampung asli, keluarga aku itu
dikenal sebagai pecinta ikan. Karena sebenarnya orang Lampung salah satu
makanan utamanya memang ikan sih.
Jadi dibandingkan makan daging ayam atau daging sapi, kebanyakan orang Lampung
akan memilih ikan. Ya, persis kayak keluargaku.
Keluargaku berada di lingkungan yang lumayan
beragam. Sebagai suku asli, aku dan keluarga berada dalam lingkungan yang
kebanyakan masyarakatnya adalah orang Jawa. Tetanggaku yang samping kanan dan
kiri adalah orang Jawa, depan juga. Jadi sedari kecil ada tiga bahasa yang aku pelajari
yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan tentu saja bahasa Lampung. Karena
interaksi yang sering dengan orang Jawa aku lebih jago bahasa Jawa dibanding bahasa
Lampung. Kalau bahasa Jawaku aktif, kalau bahasa Lampung pasif. Soalnya di rumah,
orangtuaku berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sesekali saja menggunakan
bahasa Lampung. Di desaku, penduduk asli Lampung hanya beberapa keluarga saja,
sisanya adalah orang Jawa, Sunda dan Banten.
Nah, banyaknya tetangga yang bersuku Jawa membuat
kita memahami kultur dan kebiasaan satu sama lain dan saling menghargai
tentunya. Salah satu yang lekat dalam pikiran mereka adalah orang Lampung
adalah pemakan ikan, tiada hari tanpa ikan. Jadi kalau ada tetangga yang pergi
mencari ikan lantas menjualnya. Keluarga yang bakal dituju duluan adalah
keluarga kami. Ikan gabus dan ikan lele ditusuk dengan bambu membuat rencengan
memanjang. Atau ikan-ikan kecil hasil tangkapan saat musim hujan akan dibungkus
dan dijual dengan daun jati. Menarik sekali waktu itu.
Pernah tetangga yang baru saja pulang dari sungai
atau rawa membawa serenceng ikan. Ada ikan gabus, ikan lele dan ikan belut.
Emakku pun membelinya lalu mulai membersihkan ikan di belakang rumah. Kami yang
sedang asik nonton televisi, tiba tiba kaget luar biasa mendengar ucapan emak
dari belakang rumah.
“Ulai....,” kata emak. Aku kemudian ke belakang dan
melihat emak melempar belut belut di rencengan. Menurut emak, belut adalah
ular. Ha... ha.. ha...
Nah, ikan gabus dan ikan-ikan lainnya yang sudah
dibersihkan akan digoreng atau bakar ini cikal bakal Seruit Lampung.
Seruit
Lampung
Setiap hari di rumah menu yang pasti ada adalah
sambal, lalap dan ikan (dibakar maupun digoreng). Ketiga menu ini kalau
dicampur jadilah Seruit Lampung. Sesederhana itu sih sebenarnya.
Cuma biasanya kalau mau nyeruit, ada beberapa yang perlu disiapkan. Lalapan yang biasanya
enggak terlalu banyak, ada beberapa lalap spesial yang disiapkan seperti terong
yang dibakar. Sambal juga disiapkan lebih spesial misalnya penggunaan mangga
kweni di dalam sambal membuat cita rasa sambalnya jadi juara enaknya. Kalau
tidak pakai mangga, sambal terasi juga enggak kalah enaknya. Kalau nyeruit versi kami biasanya pakai ikan
gabus, ikan baung atau ikan mas. Seruit Lampung makin juara enaknya kalau
ditambah tempoyak durian, kalau tempoyaknya enggak ada biasanya daging durian
bisa jadi pilihan. Tapi aku kurang suka durian sih...
Nah, sambal yang sudah dibuat ditaruh di wadah yang
cukup besar. Kemudian daging ikan bakar juga ditaruh di piring yang ada
sambalnya. Lalu lalap seperti timun (bagian dalam yang ada bijinya), terung
bakar juga ditaruh dalam piring yang sama (buang kulit yang gosong). Kemudian
sambal, ikan dan lalap dicampur jadi satu menggunakan tangan. Kalau yang enggak
biasa melihat pencampuran ini pasti bakal merasa geli gimana gitu. Kalau menurutku justru di situ
letak kenikmatan Seruit Lampung. Setelah semuanya bercampur, baru deh makan
dengan nasi hangat.
Lalap yang biasanya jadi pelengkap itu banyak
banget ada daun singkong yang direbus, timun mentah, daun kemangi, daun jambu
monyet/mede, tauge, rotan muda, daun mangga muda (cobain deh), singkong mentah,
pisang tua (biasanya pisang muli) yang belum matang dan jenis lalap lainnya. Beberapa lalap terlihat
anti mainstream, tapi itu realita sih,
dan aku mengalami dan menikmati itu semua.
Seruit Lampung
biasanya dibuat dalam upacara-upacara adat, di acara pernikahan atau
pertemuan-pertemuan. Biasanya nyeruit
jadi moment berharga untuk
saudara-saudara yang sedang berkumpul dan bercengkerama.
Dulu waktu SD, aku suka diledek soal Seruit Lampung
ini. Karena proses pencampuran sambal, ikan dan lalap yang menggunakan tangan,
lantas dimakan bersama-sama dengan mengambil seruit ke piring masing-masing.
Terkesan jorok dan tidak higienis. Jadilah bahan ledekan.
“Seruit Lampung, jorok dan aneh.”
Aku pikir ledekan (baca bully) soal Seruit
Lampung selesai saat di SD, tapi di SMA guruku yang berasal dari
Jakarta juga ngomong begitu. Seruit Lampung, joroklah anehlah. Sambil meragakan
tangan ngaduk-ngaduk sambal dan ikan.
Aku pikir lagi ledekan tentang Seruit Lampung bakal
beres juga di zaman SMA, ternyata saat merantau dan ketemu sama rekan kerja,
ledekan juga sama. Aku sih males
untuk menjelaskan karena pengolok pengolok itu pasti enggak tahu bagaimana bangiknya Seruit Lampung.
Filosopi
Seruit Lampung
Nenek moyang kita pasti enggak sembarangan membuat
makanan khas tertentu yang dulunya adalah makanan keseharian. Lampung yang kaya
akan sumber daya alam seperti sungai, rawa dan laut menghadirkan aneka jenis
ikan. Tanah yang subur menghadirkan sayuran yang dapat dijadikan lalapan. Kalau
di restoran-restoran lalap mainstrem
yang dihadirkan seperti mentimun, kol dan kemangi. Di Lampung anti mainstrem, lalapan seperti pucuk
daun jambu mede, pucuk mangga, pisang tua yang belum matang, singkong mentah
jadi pelengkap makan. Jadi pemanfaatan bahan lokal sebagai bahan pokok makanan
setempat memang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita.
Seruit Lampung yang
diracik satu orang dengan tangannya langsung menandakan adanya ikatan dan rasa
saling percaya. Persetan sih dengan
olokan orang tentang jorok dan tidak higienis, karena ikatan dan saling percaya
satu sama lain adalah kunci sehingga nyeruit
bersama-sama nikmatnya luar biasa. Nganik
bangik.
Makan Seruit Lampung dengan duduk
melingkar sambil mengambil sedikit demi sedikit seruit yang ada di piring
menjadi alat pemersatu semua kalangan. Bayangkan saat berkeliling tangan
masing-masing mengambil seruit dalam satu piring, tidak ada perasaan apa-apa
yang terbersit selain kebersamaan dan kehangatan.
Di zaman milenial seperti sekarang ini, ngumpul
ngumpul itu sudah menjadi gaya hidup. Di Lampung ngumpul ngumpul bakalan seru
kalau sambil nyeruit. Alhamdulillah, di
kalangan muda mudi nyeruit juga kerap
dilakukan karena seru dan membahagiakan.
Jadi dalam satu makanan bernama seruit Lampung
tersimpan banyak filosopi yang enggak kalah dengan makanan khas dari daerah
lain. Kalau akhirnya ada orang-orang tertentu yang tidak suka atau meremehkan
makanan khas daerah tertentu, aku pikir sih
itu urusannya, urusan sudut pandangnya terhadap makanan tertentu.
Itulah cerita tentang salah satu kuliner khas
daerah Lampung yaitu Seruit Lampung. Jaga terus kekhasan kuliner kita ya!
Ini gimana rasanya mas. Jadi kepo sama si makanan khas lampung nih Seruit Lampung mas
BalasHapusSaya kira seriut Lampung nama daerah taunya nama makanan hahahha
BalasHapusduh..baca ini kok jadi kesel ya! bukan kesel sama mas erfano, sama sebuah rumah makan hehe. jadi alkisah belum lama lalu dapet cerita soal seruit. sebagai penggemar pedas, denger ceritanya dah langsung ngeces. ga lama kemudian, ketemu rumah makan khas lampung. ada paket seruit. eh, pas dateng cuma dikasih sambel biasa. katanya abis seruitnya. hrrrrrr bukannya bilang! jadi saiyah ngeces lagi sekarang, belum jadi ngicipin seruit.
BalasHapusKalau di kampung saya lalapan anti mainstreamnya itu pucuk kedondong, pegagan, selada air, daun reundeu, banyak deh. Salam dari saya si pecinta lalab ^_^
BalasHapusAku belum pernah ke Lampung mas. Tapi pernah dioleh-olehi keripik pisang coklat dari sahabat karib. Dan yang terakhir dibawakan suami bakso song haji yang enak mantap. Semoga seruit bisa aku nikmati juga someday ya
BalasHapusmas, sambal matah juga dari Lampung kan?
BalasHapusKalo soal diaduk dicampur pake tangan, di Sumatera Utara biasa dikenal mi gomak. Mi gomak ini diaduk pake tangan mas. Haha, katanya di situlah kelezatannya.
Wah sama kita mas.
BalasHapusKeluarga ku juga makan ikan yg paling sering.
Daging dan ayam itu terkadang saja.
Jikanikan setiap hari, maka ayam itu hanya seminggu sekali.
Makan daging kadang cuma pas lebaran haji aja.
Dah kebiasaan..
Orang Makassar juga suka makan ikan, Mas Erfano. Makanya saya kini walau di Jawa, rela bela-belain mencari ikan. Tanpa makan ikan, ada yang beda hahaha. Walau ikannya tidak selengkap di Makassar.
BalasHapusDan penasaran dengan Seruit ini, Mas. Makin nikmat karena disantapnya bareng-bareng ya, Mas.
Mas, kalau ke Lampung, ajak saya, ya! Belum pernah ke Lampung nih. Mupeng hahaha.
Wah ikan bakar ditambah terong bakar cocol sambal mangga/kweni, mantapnya tuh bang. ngeces deh..
BalasHapusKalau cerita tentang kuliner,memang nggak pernah ada habisnya
BalasHapusSeruit itu rasanya gimana ya, biasanya kalau siapin untuk lalapan selalu sedia daun kemangi sama mentimun segar
Kuliner khas daerah seluruh nusantara itu beragam ya, dan ga bisa diingat satu persatu, termasuk seruit lampung ini, baru denger juga, tapi membayangkannya aja udah bikin ngiler.
BalasHapusnamanya unik, pun cara pembuatannya. Kalau di jawa ada yang namanya urap-urap yang cara buatnya juga diurap/dicampur dengan tangan tuh mbak, yang makan juga enggak jijik kok. Percaya aja, hahaha. Yang penting rasanya kan ya
BalasHapusSekilas di awal tadi kukira mau bahas sirkuit wkwk...
BalasHapusTapi emang kalau pulau sumatera, ikan itu udah jadi makanan utama sih mas karena itu tadi masih segar laut dan sungainya, tapi udah mulai gak sih sekarang, aku orang Medan dan pemakan ikan juga sekeluarga,
Beda dengan di jkt, ikan kok ya gak segar, terus teksturnya keras gitu, jadi malas makan ikan kalau lagi stay d jkt, btw aku suka banget tempoyak, kalau d Medan nyebutnya pekasam durian, duhhh jadi lapeeer hehe
mirip - mirip sambel ikan tapi gak digoreng gitu yak.Banyak sekali makanan tradisional yang hilang karena kita mengukur filoshopi kuliner dengan budaya kebersihan zaman now.
BalasHapusMemang yaaaa segala hal yang berhubungan dengan tradisi zaman dulu itu selalu ada filosofinya. Bahkan sekelas lalapan alias seruit lampung pun ada folosofinya juga ya kan... Tapi apapun itu berkumpul memang nikmat dan memorable banget justru kalo ada makanan pemersatu gitu...
BalasHapusOh ikan gabus selalu mengingatkanku pas aku kekurangan albumin trus terapi makan putih telur, soalnya ikan gabus susah ditemukan di Jakarta, kalau pun ada seringnya gak seger hehe.
BalasHapusOh noted nih kalau ke Lampung mesti nyobain Seruit Lampung ini ya? Eh tapi gak mesti cikal bahannya itu dari ikan gabus ya mas, bisa juga dari ikan2 lain?
Baru tahu artinya Seruit Lampung sekarang, ma kasih banyak buat informasinya Bang.
BalasHapusSaya tadi bacanya Sefruit Lampung, hmm, maafkan mata ini.
BalasHapusmas, rotan muda rasanya kayak gimana wkwk baru tau rotan bisa dimakan..
dan yang mengolok-olok Seruit Lampung harus diulek juga tuh, enggak tau dia kalo makanan yang dicampur-campur gitu rasanya aduhai mantappp, soalnya saya juga suka gitu, bikin makanan dicampur semua aja gitu dan emang enak wkwk kayaknya bakalan cocok kalo nyobain Seruit Lampung