Senja tak memerah kali ini. Guratan hitam terlihat pekat, mendung telah lama mengintai. Dan seperti biasa tak afdhol jika hujan tak menyapa kota hujan. Nyaris setiap hari bahkan….. aku jarang melihat senja yang memerah di kota ini!
Hujan turun perlahan! Membasahi
tanah-tanah yang belumlah kering terpapar sinar mentari. Membasahi jiwa-jiwa
perantau sepertiku untuk selalu mengingatNya. Juga mengingat kampung halaman
yang perlahan terlupa.
Aku menyeduh teh lalu
menyeruputnya begitu dalam. Dari jendela kulihat air hujan seperti bola karet
yang jatuh lalu memantul. Begitu segar dan menyejukkan akan tetapi hujan di
kota ini disambut dingin manusia. Tak ada yang bermain hujan-hujanan sepertiku
dulu…..
“Yuuk! Main udan-udanan neng sekolah/
Ayo! Main hujan-hujanan di sekolah …,”
suara Heri temanku terdengar dari luar rumahku. Tanpa aba-aba lagi aku langsung
menyambut ajakannya. Bersama beberapa teman kami sudah bersiap menyambut hujan di sore
itu….
Halaman sekolah menjadi tempat bermain
yang mengasyikkan. Rerumputan yang hijau dan harumnya tanah yang terkena hujan
membuat kami tak segan-segan untuk menjatuhkan tubuh kami. Walaupun daun-daun
rerumputan menempel di tubuh dan membuat sensasi gatal. Tak membuat kami kapok
untuk kembali menjatuhkan tubuh. Bahkan merebahkan tubuh sambil mengadahkan
diri menikmati hujan.
Teh kembali kuseruput. Hangatnya
menyeruak menggoda di tubuhku. Bogor telah cukup hangat kukenal sebagai kota
kedua dalam hidupku. Namun tak dapat menandingi keriangan dan kearifan alam
kota kelahiranku.
Aku dilahirkan di Kotabumi,
ibukota kabupaten Lampung Utara. Memasuki usia 4 tahun,orang tuaku memboyong
kami ke sebuah desa kecil di Kotabumi. Di desa kecil itu aku diperkenalkan
dengan keriangan alam. Hutan, sungai, rawa, sawah, ladang sudah menjadi bagian
dari masa kecilku yang tak terlupakan.
Ketika musim penghujan datang,
ikan-ikan di sungai akan kembali merebak. Entah darimana ikan-ikan itu datang
mengingat saat musim kemarau sungai-sungai dan sawah-sawah kering kerontang.
“Arep nyeser iwak ora neng kali/
Mau ngambil ikan tidak di kali?” ajak tetanggaku siang itu.
Berbekal pinjaman seser, sejenis
anyaman bambu berbentuk cembung kami menjelajahi setiap sudut sungai. Tak kami
sendiri karena puluhan orang lain sudah siap meramaikan dan mengambil ikan di
sungai.
Mengambil ikan seser cukuplah mudah,
seser diserokkan ke tepian dan biasanya ikan-ikan terjebak di dalamnya. Maka
ikan-ikan kecil dan udang akan mudah didapat. Apalagi sungai yang berlumpur
membuat keruh dan ikan-ikan akan terlihat di permukaan. Jika beruntung
ikan-ikan besar seperti ikan gabus, ikan sepat, ikan betok dan ikan lele akan
menjadi bonus yang menyenangkan.
Pesta ikan biasanya akan ditutup
menjelang sore. Ketika dari hulu hingga hilir sungai kita jelajahi. Biasanya
pula kami akan membawa berember-ember ikan untuk dibawa pulang. Saat itu
bahagia kami dapat bersahabat dengan alam dan tentu saja menjaganya.
Sesampainya di rumah ikan-ikan itu
pasti akan dimasak. Ikan-ikan kecil dan udang akan dibuat bakwan ikan.
Sedangkan yang besar-besar akan digoreng atau dipepes. Satu moment yang takkan
terlupakan adalah saat menikmati bakwan ikan dengan nasi dan sambal saat hujan
turun. Hangatnya suasana bersama keluarga, bersama harumnya bau hujan.
Lamunanku terhenti, bunyi WA telah
membuyarkannya. Aku ambil telepon genggamku dan kubaca pesan WA itu…
Erfan jadi ke rumah nggak untuk
ambil mangga?
Aku tersenyum lalu membalasnya….
Jadi dong! Tetangga yang baik
he…he…
Pikiranku kembali melayang…..
Saat musim hujan adalah saat dimana
banyak buah-buahan yang akan berbunga dan berbuah. Mangga dan rambutan
adalah energi besar dari alam yang tiada henti diberikanNya. Sebagai pendatang
di desa lahan di rumahku tak cukuplah luas. Tidak seperti banyak tetanggaku
yang memiliki lahan berhektar-hektar. Memiliki banyak buah mangga dan buah
rambutan dengan berbagia macam jenisnya.
Namun tidak memiliki pohon mangga
bukan berarti kami tak dapat menikmatinya. Nyaris setiap hari kiriman mangga
datang dari para tetangga. Atau jangan heran jika musim rambutan tiba. Pernah
suatu hari ayahku membawa satu karung rambutan dari tetangga.
Jika hujan datang, selain bermain
hujan-hujanan kami pasti akan berlari ke kebun belakang rumah.
Berbondong-bondong kami mendatangi pohon mangga. Sesampainya di sana,
mangga-mangga ranum berjatuhan dan pasti kami berebutan untuk mengambilnya. Sambil
hujan-hujanan mangga-mangga itu tandas kami makan….
WA kembali masuk. Langsung kubaca….
Ok deh! Iya dong tetangga oh
tetangga……kau juga tetangga yang baik juga! Suka minjemin uang hihihihihi.
Aku tertawa…..
Dasar!!! Balasku padanya
Hujan belum reda! Teh di gelas
masih bersisa. Aku menyeruputnya…. seraya memejamkan mata!
Kehidupan di desa adalah kehidupan
bergotong royong. Kehidupan seperti semut, penuh dengan kebersamaan. Tak ada
jeda, tak ada tembok dan tak ada egoisitas.
Jika ada apa-apa tetangga adalah
garda terdepan. Siap membantu! Yang paling kuingat, saat tetangga akan pindah rumah, para tetangga
akan bahu-membahu menolong. Kerangka rumah kayu yang akan dipindahkan diangkat
bersama-sama. Digotong dengan satu komando. Tak hanya mengangkat namun
pemasangan dinding bambu dan genteng dilakukan bersama-sama. Hingga rumah itu
siap ditempati. Jika sudah selesai, kami akan makan bersama-sama. Tak ada ayam
atau daging. Tempe, pete, sambal, sayur kacang panjang menjadi menu santap
siang yang terasa begitu nikmat.
Meminta dan memberi pun menjadi
bagian yang tak akan terpisahkan. Sayur dan buah yang disediakan alam kami
nikmati bersama-sama. Jika memerlukan rempah beberapa tetangga akan datang ke
rumahku. Sebaliknya jika memerlukan sayur dan buah tetangga akan berbaik hati
memberinya. Kehidupan di desa terjalin begitu harmoni.
Teh kuteguk begitu dalam. Hujan
mulai menyisakan rintik-rintik. Aku menghirup nafas! WA kembali masuk….
Tetangga! Lagi ngapain hujan-hujan
begini?
WA kubalas dengan cepat…
Menikmati teh racikan sendiri
sambil menghirup bau harum tanah.
Saat musim kemarau merenggut
bulan-bulan kami. Rerumputan mulai mengering, pepohonan mulai meranggas. Namun
alam berbaik hati, hujan kembali menyapa. Dan bau harum tanah saat hujan turun
menjelma. Menjadi bagian dari hidupku yang tak terpisahkan…
Saat hujan, rerumputan kembali
hijau. Ternak-ternak mendapatkan makanannya tanpa kekurangan. Buah cempedak
berbunga dan beberapa kemudian siap dinikmati. Buah mangga, buah rambutan, buah
pisang akan menjadi kiriman Tuhan yang tiada henti untuk kami syukuri.
Jika hujan begitu lebatnya…siring
(selokan di depan rumah) yang masih dari tanah akan dialiri air-air yang
berbaur dengan tanah. Maka selain bermain hujan-hujanan, selain menikmati
mangga jatuh kami akan menjadikan siring yang curam sebagai perosotan alami.
Mungkin hal inilah yang mengilhami beberapa kolam renang untuk membuat
‘serodotan’ air.
Begitulah di desaku, hujan adalah
anugerah, selebat apapun ia turun. Tak akan pernah ada banjir. Tak akan pernah
ada longsor. Tak akan ada rumah yang tergenangi. Semua berjalan dengan harmoni
alam yang apik. Karena sudah banyak yang alam berikan untuk kami dan selayaknya
pula kami menjaganya dengan sepenuh hati.
Hujan telah reda. Teh di gelas pun
telah tandas. WA kembali masuk…
Tahu nggak kenapa hujan begitu
harum?
Nggak! Emang apa?Karena ada
parfumnya!
Ngaco!
Trus apa dong!?
Sumber bau harum dari minyak
atsiri diproduksi tumbuhan kemudian diserap oleh bebatuan dan tanah. Lalu
dilepas ke udara pada saat hujan turun!*
Ooo…. Gitu Pak Professor!
*Lirik lagu Sahabat
Alam (OST-Musikal Laskar Pelangi)
Aku merinding mas erfano, tau bahwa harum tanah yang kusuka itu ternyata dari atsiri tumbuhan yang diserap tanah.
BalasHapusAku penyuka hujan dan harumnya,
Aku termasuk yang suka menghirup bau tanah selepas hujan. Apalagi kalau kondisi sebelum hujan itu panas. JAdi bersyukur...
BalasHapusWih.. pas banget ini, Mas Erfano. Sejak junat kemarin, hujan juga sudah menyapa Kebumen. Itu bau tanah langsung terasa. Lega, karenaair sumur sudah banyak, tapi sekarang bingung cucian tidak kering hahaha. Dasar.. diriku ini.
BalasHapusTapi kalau soal hujan, memang masa kecil paling yahud ya, Mas. Saya itu kalau hujan, kadang mandi-mandi hujan. Lalu talang air kadang jadi pancuran air hahaha.
Habis hujan-hujanan, mandi air hangat, lalu makan pisang goreng dan minum teh panas manis sambil berselimutan dna nonto televisi hahaha.
Hujan memang selalu membawa cerita. Sejak dulu, kini, dan sampai nanti.
Duhh jadi kangen musim hujan ya mas. Paling enak emang lagi hujan, menghirup bau tanah, minum milo, makan bakso atau gorengan, wuahhh ngiler.
BalasHapusBtw ada namanya mas, penyuka bau hujan itu pluviophile 😉
Hujan bikin Mas Erfano jadi beromantisme dalam tulisan, nih, hahaha ...
BalasHapusBaca cerita tentang kehidupan di desa itu kok ya menyenangkan banget, ya? Masa kecil di hidup di pedesaan juga tergambar indah banget. Aku jadi kepengen main ke desa. Pulang kampung aja apa, yaaa? Hihihi ...
Semoga hujan turun lagi ya, membawa kebaikan buat semuanya. Daku sedih kemarau panjang itu panas sekali, huhuhu ...
hujannnnnnnnnn aku merindukanmu, nafasku sudah sesak dengan bau asap huta terbakar. Aku rindu aroma tanah selepas hujan. Aroma yang menjanjikan kesuburan dan panen yang melimpah
BalasHapusSaya juga suka hujan Mas Erfano.
BalasHapusSaya suka hujan-hujanan juga.
Tapi saya ndak suka banjir. Walaupun mungkin ada hikmah dibaliknya.
Aku termasuk orang yang suka menghirup tanah saat turun hujan. Apalagi saat kemarau kemarin dan sesekalinya hujan harumnya sedap sekali
BalasHapusMasih mirip dengan cara hidup di desaku, ya Mas. Masih asri dan masih sering berbagi. Saat baca ini saya jadi ingat dengan nangka yang belum saya makan karena ada mangga. Semua dari tetangga. Juga singkong yang tinggal cabut. Dan pete... sampai jadi doyan pete gara2 sering diberi pete oleh tetangga. Masih banyak lagi. Tapi itu juga karena kami senang berbagi. Jadi, siapa yang suka berbagi akan juga mendapatkan balasan indahnya.
BalasHapusSalam untuk tetangganya yang suka pinjam uang. wkwkwk
Wah samaan aku juga suka bau tanah dan tanaman setelah hujan mas :D seger, apalagi kalau masih tinggal di area yang banyak ijo2nya :D
BalasHapusKehidupan di desa emang ngangenin ya, orang2nya lebih peduli, tapi kdng saking pedulinya ada yg org kota kaget kyk tingkat kekepohannya gtu xixixix. tapi desa adalah tempat terbaik buat pensiun :D
Aku kok lupa lagu Sahabat Alam yang mana, brb ke YT haha
Ilmu baru lagi, baru ngeh juga bahwa selama ini ada "bau hujan". Nice info !
BalasHapusAku termasuk yang suka menghirup bau tanah yang terkena hujan. Apalagi kalau sebelum hujan itu terik dan panas. Tapi udah setahunan kayaknya di tempatku belum turun hujan smpai skarang hiks
BalasHapusBau harum tanah terkena hujan, apalagi kalau hujannya datang setelah panas sekian lama. Mmmm, enak banget dan biasanya membangkitkan memory, hahaha
BalasHapusAku dimasa kecilku adalah anak perempuan yang jarang keluar rumah dan dilarang mandi hujan padahal aku suka sekali berdiri dibawah guyuran air hujan. Merasakan tiap titik air mencubit kulitku.Tapi ancaman cubitan ibu, membuat nyali ku ciut merasakan sensasi mandi hujan.
BalasHapus.
Dan aku saat ini setelah menjadi ibu, setiap hujan yang turun cukup deras, kuajak anak-anak menikmati keseruan bermain di bawah kucuran air hujan. Setelah mereka merasa cukup, mereka kuajak membersihkan tubuh lalu minum teh hangat sambil diberi usapan minyak kayu putih.
Sama,, Mas Erfano, saya juga sekalj bau tanah sehabis hujan. Dengan catatan abis hujan gak ada banjir yaa.. Kl banjir mah pd sibuk nguras deh hihi,, gak sempet menikmati harumnya tanah selepas hujan. Two thumbs up deh masnya perhatian sekali dg hal² yg kecil namun bermakna ini.
BalasHapusAku pun sama, penyuka bau harum tanah selepas hujan. Pas dengan segelas teh hangat dan kenangan. Minus anyaran tetangga. Karena Ibuku justru yang banyak ngantar...panenan di kebun belakang yang enggak luas tapi pohon-pohonnya subur berkat tangan dingin Beliau.
BalasHapusWah...jadi kangen kampung halaman!