Saat
trailer Film Semesta mucul dan akan tayang 30 Januari 2020, saya sudah
mengagendakan diri. Tapi tepat di hari perdana, saya malah nggak keburu nonton.
Ha..ha… baru di hari keempat bisa lihat film dokumenter ini di bioskop. Apalagi
Film Semesta ini, tidak tayang di semua bioskop di Indonesia. Di Bogor saja,
dari beberapa bioskop yang ada, hanya satu bioskop yang menayangkan film ini.
Sebenarnya
film ini sudah selesai produksinya di tahun 2018 dan sempat masuk
nominasi untuk kategori film dokumenter terbaik di Festival Film Indonesia
(FFI) 2018. Setelah melewati berbagai macam keputusan, akhirnya Film Semesta
dapat dinikmati di bioskop di akhir Januari tahun 2020 ini.
Film Semesta adalah jenis film dokumenter. Saya baru pertama kali menyaksikan film
dokumenter di bioskop. Kebayang dong, gimana alur film dokumenter yang kesannya
tuh membosankan. Tapi, sepanjang menonton Film Semesta, kekhawatiran akan hal
yang membosankan ternyata tidak terjadi.
Film yang
disutradarai oleh Chairun Nissa dan diproduseri oleh Nicholas Saputra dan Mandy
Marahimin ini diproduksi oleh Tanakhir
Film, yang juga ikut memproduksi Film Layar Lebar Ada Apa Dengan Cinta? 2
(2016).
Tema yang
diusung bikin saya tertarik buat nonton yaitu
tentang lingkungan hidup. Apalagi di salah satu bagian film ini, ada Bapak
Iskandar Woworuntu yang mendirikan Bumi Langit di Imogiri, Yogyakarta. Ngomongin soal Bumi Langit, saya sudah
beberapa kali berkunjung ke restorannya maupun pertaniannya yang mengusung
permaculture. Menginsiprasi sekali!
Film
Semesta dibagi menjadi 7 bagian. Tujuh bagian ini mewakili daerah-daerah yang
ada di Indonesia yaitu Bali, Kalimantan Barat, Nusa tenggara Timur, Papua,
Aceh, Yogyakarta dan Jakarta. Tokoh tokoh yang dihadirkan adalah orang-orang
yang memiliki andil dan solusi terhadap perubahan iklim dan lingkungan hidup.
Film
dibuka dengan persiapan upacara Hari Raya Nyepi. Adalah Tjokorda Raka Kerthyasa
tokoh budaya di Ubud Bali yang menjadikan Hari Raya Umat Hindu ini sebagai hari
istirahat alam semesta.
Di bagian
ini, alam Bali yang begitu natural tereksplor dengan baik. Penonton seakan
dibawa menyelami apa itu Hari Raya Nyepi. Di scene scene terakhir, potret
jalanan Bali yang sepi terlihat begitu menenangkan, daun dengan embun pagi,
jalanan yang lengang, mentari yang bersinar. Senyap. Menenangkan!
Scene
berikutnya dilanjutkan dengan pohon-pohon di hutan Kalimantan. Tokoh berikutnya
adalah Agustinus Pius Inam yang merupakan kepala dusun Sungai Utik, di Provinsi
Kalimantan Barat. Di bagian ini kita diajak untuk memikirkan betapa pentingnya
menjaga dan melestarikan hutan.
Saat
menonton, saya terbawa. Bicara soal Kalimantan Barat, sudah puluhan kali saya
mengunjungi provinsi yang satu ini. Beberapa kabupaten (termasuk yang
berbatasan dengan Malaysia) juga sudah saya kunjungi. Alhamdulillah.
Agustinus
Pius Inam tinggal di rumah panjang (rumah radank) khas Kalimantan. Rumah berderet panjang ini
terdiri dari rumah-rumah dengan jumlah hingga 90an sampai 100an. Dulu saat
menginap di salah satu kepala sekolah asli Dayak, saya diajak berkunjung ke
rumah panjang yang merupakan rumah panggung dengan bentuk memanjang.
Nah, di
rumah inilah diskusi adat mengalir. Bagaimana kepedulian tetua tetua adat
terhadap hutan peninggalan nenek moyang mereka. Bagaimana cara mereka menjaga dan melestarikannya.
Ada satu ucapan Agustinus Pius
yang saya ingat.
“Hutan
ini seperti supermarket buat saya. Apa saja ada. Mau sayuran ada. Buah-buahan
ada. Mau obat tinggal cari. Mau daging kami tingga berburu.” Keren kan?
Daerah
berikutnya adalah Nusa Tenggara Timur, tokoh yang dihadirkan adalah Romo
Marselus Hasan yang merupakan pemuka agama Katolik di Bea Muring, Manggarai Nusa Tenggara Timur. Bersama
masyarakatnya, beliau mendirikan pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk
mengurangi emisi berbahaya yang keluar dari generator/jenset.
Persoalannya
tidak semudah yang dibayangkan. Biaya mendirikan yang sedikit belum lagi banjir
bandang yang menerjang hingga menghanyutkan beberapa bagian dari mesin
pembangkit listrik. Namun, Romo Marselus pantang menyerah. Beliau bersama
msyarakat bahu membahu untuk membuat tanggul tanggul di sungai, memperbaiki pembangkit listrik
sehingga masyarakat kembali merasakan listrik di rumah rumah mereka.
Bagian
berikutnya, Papua Barat. Adalah Almina Kacili yang merupakan kepala kelompok
wanita gereja Kapatcol Papua Barat. Melalui Sasi, beliau dan para wanita
tangguh menjaga wilayah lautnya dari eksploitas pencarian ikan yang tidak
memikirkan kelangsungan ekositem laut.
Sasi adalah
aturan yang diberlakukan dengan mensterilkan satu kawasan laut selama beberapa
periode agar biota biota laut dapat memperbaiki ekosistem dan berkembang biak.
Setelah aturan sasi selesai di satu wilayah, masyarakat dapat mengambil atau
memanen biota biota laut yang bisa dikonsumsi dan dijual.
Melihat bagaimana
Almina Kacili berjuang dengan ibu ibu tangguh, tidak terasa saya meneteskan air
mata, belum lagi keindahan laut Papua Barat yang dihadirkan. Ah, indah sekali….
Daerah
berikutnya adalah Acah. Kebun Muhammad Yusuf dan masyarakat di Aceh dirusak oleh
sekawanan gajah. Binatang kuat ini merusak karena habitat hutannya dirusak oleh
manusia, penebangan hutan, eksploitas lahan hutan membuat habitat gajah
terganggu dan gajah turun ke kebun kebun untuk memakan tanaman di kebun.
Muhammad
Yusuf bersama masyarakat tidak tinggal diam, selain meminta kepada Allah,
mereka juga memikirkan bagaimana habitat gajah kembali lestari.
Saat senja di Aceh, lalu kumandang adzan Maghrib terdengar dilanjutkan dengan anak-anak mengaji. Teras indah sekali. Syahdu.
Daerah berikutnya
adalah Yogyakarta, Iskandar Woworuntu selaku pendiri Bumi Langit dengan
mengusung konsep permaculture mengajak kita untuk menyelami pentingnya menjaga
asupan makanan yang tidak hanya halal tetapi juga thoyyib.
Konsep thoyyib di
sini bukan sekadar makanan yang bergizi dan bisa dimakan, namun thoyyib
mencakup bagaimana sumber bahan pangan berasal, industri industri makanan yang
makin hari makin meracuni masyarakat kita. Industri makanan mengubah dan
menggeser pola makan masyarakat yang tadinya alami menjadi tidak alami. Bahan makanan
kebanyakan sintetis atau melalui proses yang berkali kali sehingga gizi, enzim
dari bahan pangan berkurang banyak bahkan nihil sehingga yang tersisa adalah
sampah yang dikonsumsi tubuh.
Di bagian
Yogyakarta ini, sinematografinya digarap dengan apik.
Berikutnya,
penonton diajak kembali menyelami ibukota. Kali ini Soraya Cassandra yang
mendirikan Kebun Kumara di Jakarta. Soraya bersama sang suami memanfaatkan lahan-kosong
untuk ditanami tanaman yang berguna dan dapat dikonsumsi.
Petani kota yang tergabung di Kebun Kumara bertanam secara
organik dan alami. Di bulan bulan tertentu, saat tanaman mereka siap dipanen. Mereka
akan berkumpul untuk panen dan menikmatinya.
Film selesai. Namun, sepanjang menonton film ini, nggak ada kata bosan. Sutradara dan penulis naskah mampu membawa penonton dengan asik. Transisi atau perpindahan dari satu daerah ke daerah lain terlihat rapi dengan porsi durasi di masing masing daerah yang pas.
***
Satu jam lebih duapuluh menitan, saya terbawa film dokumenter
ini. Terus terang, sebagai guru di sekolah alam yang mengusung lingkungan, hati
saya begitu tersentuh melihat perjuangan tokoh tokoh dil Film Semesta ini dalam
memberikan solusi untuk kelestarian lingkungan hidupnya.
Masing-masing kita sebagai manusia memiliki tanggung jawab
terhadap kerusakan yang ada di bumi. Banyak tangan-tangan yang memberikan
solusi sesuai dengan keahlian mereka, tapi banyak juga orang-orang yang dengan
rakusnya merusak bumi untuk kepentingan pribadi.
Di tengah tengah pandemik dan anjuran pemerintah untuk
berdiam di rumah, diam-diam hati saya bersyukur. Setidaknya covid-19 ini
menjadi salah satu cara Allah dalam mengistirahatkan bumi dan memperbaiki bumi
dari kerusakan parah tangan manusia.
Saya keluar dari bioskop dengan hati bahagia meskipun ada
resah yang masih muncul dalam bentuk tanya, “Apakah yang sudah saya lakukan
untuk kebaikan bumi?”
Nicholas Saputra ya mas.
BalasHapusWah oke nih
Btw aku teringat akan kisah almarhum ayah yang dulu cerita tentang kawanan gajah yang ngamuk di sekitar hutan Leuser. Gajah memang sensitif sekali bila daerahnya diganggu mas.
Wah.. saya juga merasa belum pernah nonton film dokumenter di bioskop, Mas. Pernah nonton, tapi di layar tancap atau televisi. Dan sesuai judulnya, film semesta menceritakan berbagai daerah. Jadi penasaran ingin menontonnya nih, Mas Erfano.
BalasHapusAku dah nonton trailer dan satu kata buat film dokumenter ini KEREN. jadi pengen banget nonton edisi lengkapnya.
BalasHapusSudah bisa membayangkan seru nya film dokumenter yang Satu ini, Indonesia tuh berasa Kaya banget dengan culture nya
BalasHapusMas, duh saya nyesel banget melewatkan film ini. Baca tulisan ini aja, saya seperti dibawa ke Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Papua, Aceh, dan Yogyakarta. Gimana ya kalau nonton filmnya langsung. Whoaaa, pasti lebih keren.
BalasHapusMembaca tulisan akhirnya, saya jadi ikut bertanya-tanya juga, "Saya sudah melakukan apa untuk bumi kita?"
Huhuhu, jangan-jangan masih sekedar memanfaatkan tanpa berpikir upaya melestarikannya.
Wah aku baru tau ada film semesta ini, dan jadi penasaran juga sih gimana alur cerita lengkapnya, sepertinya menarik.
BalasHapusWah lama rasanya gak berkunjung ke blognya Mas Erfano ini, pak guru sekolah alam ya... keren... btw inovatif nih film Semesta. Film dokumenter tp kok gak membosankan, makasih referensinya yaa Mas Erfano ^^
BalasHapusSaya setuju dengan kalimat terakhir.
BalasHapusSisi positif dari pandemi yang sedang melanda ini, salah satunya itu adalah mengistirahatkan bumi.
Semoga kita lulus ujian sabar menghadapi pandemi ya.
Film yang bagus mas...
Dunia terasa sempit jadinya, karena selepas syuting di Bea Muring, alhamdulillah diberi kesempatan untuk tinggal di Bea Muring dan bertukar pikiran dengan Romo Marselus Hasan. Jadi penasaran dengan filmnya.
BalasHapusUdah lama ngincer film nya bang Nicholas.. Cuman g diputer di bioskop.. Mksh reviewnya.. Membayar rasa penasaran saya
BalasHapusFilm dokumenter seperti ini memang seru sekali mas. Apalagi dengan latar alam yang asri. Terimakasih review nya mas
BalasHapusSaya menikmati setiap keterangan kota dengan karakter khasnya dari tulisan ini. Berharap bisa menonton suatu saat. Bagus sekali konsepnya.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusWah, aku jarang tau ada film dokumenter Indonesia. Dan sepertinya yang ini menarik. Kok jadi kangen ke bioskop ya :)))
BalasHapussaya senang sekali kalaumenonton film tema ttg lingkungan hidup rasanya seperti ada didalamnya heheh..Pak Guru Sekolah alam kreatif banget ya di Film Semesta ini.. jadi pengen lihat utuh filmnya
BalasHapus