Sebagai orang yang bekerja di dunia
pendidikan, sekolah saya termasuk sekolah inklusi yang menerima anak anak berkebutuhan
khusus seperti anak anak penyandang autis, ADHD, hiperaktif, dan lainnya. Karena
termasuk sekolah inklusi, satu kelas terdapat 2 anak berkebutuhan khusus. Ada juga
kelas khusus ABK yang agak sulit berinteraksi di
kelas.
Meskipun kami berupaya untuk “menormalkan”
teman teman berkebutuhan khusus ini. Namun diskriminasi terhadap teman-teman ABK masih saja terjadi. Bullying, ejekan, diskriminasi masih saja terjadi baik
dikalangan siswa itu sendiri, guru bahkan orang tua sekalipun. Miris memang di sebuah
sekolah inklusi, yang harusnya orangtua paham kalau sekolah menerima anak berkebutuhan khusus namun beberapa oknum orangtua
masih memandang mereka sebelah mata. Bahkan tak pelak mereka juga melakukan bullying
dan diskriminasi.
Itu terjadi di sekolah inklusi, yang menurut saya
visi dan misi sekolah jelas. Sebagian besar penghuni sekolah punya pemahaman yang
tidak sedikit terkait ABK. Bagaimana anak ABK yang berada di sekolah biasa atau di tempat umum yang kurang pemahamannya terhadap anak anak berkebutuhan
khusus. Dapat dibayangkan bagaimana perlakuannya terhadap anak anak berkebutuhan
khusus.
Tidak hanya teman-teman penyandang autis, ADHD,
hiperaktif yang mengalami bullying dan diskriminasi. Teman-teman penyandang disibalitas
lainnya juga masih mengalami diskriminasi termasuk teman-teman penyandang
kusta.
Kusta
Kusta
atau lepra adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menyerang
jaringan kulit, saraf tepi, dan saluran pernapasan. Kusta atau lepra
dikenal juga dengan nama penyakit Hansen atau Morbus
Hansen. Kusta atau lepra dapat ditandai dengan lemah atau mati rasa di tungkai
dan kaki, kemudian diikuti dengan timbulnya lesi di kulit.
Dulu kalau mendengar kata kusta atau levra,
yang jadi buah pikir hanya orang adalah kusta atau levra adalah salah satu jenis
penyakit kutukan. Siapa pun yang mendekati penyandang kusta pasti akan tertular
terkena hal yang serupa. Masih perihal dulu, penyandang kusta pasti akan dijauhi
atau dikucilkan. Untuk sebagian masyarakat keluarga yang memiliki anggota penyandang
kusta adalah aib yang harus disingkirkan.
Pada event Ruang Publik Berita KBR Rabu
tanggal 24 Agustus 2022, telah berlangsung diskusi seru dengan tema Makna Merdeka
Bagi OYPMK, Seperti Apa? Telah hadir dua
narasumber keren yakni Ibu Marsinah Dhede seorang aktivis difabel dan perempuan sekaligus
mantan penyandang kusta sejak umur 8 tahun. Hadir juga dr. Mimi Mariani Lusli seorang
dokter dan Direktur Mimi Institue yang sekaligus seorang disabilitas (tunanetra).
Dari diskusi yang berlangsung satu jam,
Ibu Dhede bercerita bagaimana diskriminasi yang dialaminya saat orang orang mengetahui
kalau dia adalah penyandang kusta. Diskriminasi tidak hanya terjadi oleh teman-temannya bahkan oleh gurunya. Untung saja keluarga Ibu Dhede tidak mengucilkannya malah melindungi
dan melakukan pengobatan yang rutin untuknya sehingga sembuh dari kusta yang dialami.
Sebagai dokter yang disabilitas, dr. Mimi
yang mengalami kebutaan pada usia remaja juga mengalami diskriminasi. Mendapatkan
fasilitas fasilitas yang kurang memadai untuk tunanetra seperti beliau.
Makna Merdeka Bagi OYPMK, Seperti Apa?
Penyakit kusta yang masih dianggap penyakit kutukan
sudah semestinya diluruskan oleh semua pihak baik dari pemerintah maupun masyarakat
sipil. Sosialisasi demi sosialisasi sebaiknya dilakukan sebagaimana pemerintah yang
mampu mensosialisaikan prokes covid dan vaksin dengan baik kepada masyarakat sipil.
Selain itu, perlu sosialisasi lebih kenceng lagi
terhadap masyarakat sipil kalau penyebaran penyakit kusta tidak semudah menyebarkan
penyakit flu, atau batuk pilek. Dan sudah menjadi tugas kita bersama untuk menjadi
“duta” kusta untuk masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar
Posting Komentar